LampungLampung Timur

Terkait Permohonan Perizinin Usaha, Ini Pandangan Ketua AWPI Lampung Timur

Kamu Bisa Download ini:

 

Lampung Timur(LN) – Menurut ketua AWPI DPC Lampung Timur Herizal,dengan adanya Sentralisasi dalam hal penguasaan sumber daya mineral dan batu bara bertentangan dengan asas subsidiaritas sehingga menyebabkan kerugian konstitusional bagi masyarakat lokal.

Demikian disampaikan oleh Herizal dalam kapasitasnya untuk memberikan pandangan dan analisa terkait berbagai permasalahan pola, sistem dan prosedur permohonan sebuah perizinan di Lampung Timur terkait penerapan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja). Kamis 3/11/22

Ketua DPC AWPI Lampung Timur , lebih lanjut mengatakan, melalui jaminan tidak diubahnya pemanfaatan ruang bagi wilayah usaha pertambangan yang telah ditetapkan berakibat tertutupnya ruang partisipasi masyarakat untuk terus memperjuangkan haknya atas ruang hidup yang baik dan sehat. Menurutnya, Pasal 162 UU Minerba telah menjadi instrumen pembungkaman pembela lingkungan hidup dalam hal ini masyarakat yang menolak tambang, untuk terus berjuang dan membela lingkungan hidup yang baik dan sehat yang dilanggar oleh aktivitas pertambangan.

“Pasal 162 UU Pertambangan ini dapat digunakan sebagai upaya untuk kriminalisasi terhadap pembela hak asasi manusia yang terkena dampak pertambangan. Selain itu, , pasal tersebut juga dapat menjadi instrumen intimidasi hukum,” papar Herizal

Sementara menurut para Ahli hukum yang dapat kami kutip penyampaiannya , mengatakan dalam Pasal 162 melarang setiap orang merintangi kegiatan usaha pertambangan dari pemegang IUP, IUPK, IPR atau SIPB yang telah memenuhi persyaratan. Pelanggaran terhadap aturan ini bisa dipidana dengan hukuman kurungan paling lama satu tahun atau denda paling banyak Rp 100 juta,
apabila kita bedah pasal ini, kita bisa menemui sebenarnya yang ingin dilarang oleh pembuat UU adalah merintangi atau menganggu kegiatan usaha pertambangan. Tetapi tidak hanya itu, sambung Herizal, Pasal 162 UU Minerba memberikan konteks terhadap pemenuhan perbuatan yang ingin dilarang dimana pemikiran ini IUP atau IUPK harus memenuhi syarat dalam Pasal 86f huruf p dan 136 ayat (2) UU Minerba yang kalau disederhanakan semua kepada proses penyelesaian hak atas tanah. Menurutnya, dalam Pasal 162 UU Minerba banyak sekali catatan atas perumusannya.

Selain itu, Herizal menyebut rumusan Pasal 162 UU Minerba mampu menimbulkan ketidakadilan dalam tataran implementasi dikarenakan tidak mengikuti teori kriminalitas secara utuh dan tidak memasuki asas-asas hukum pidana secara utuh dan dapat menimbulkan inkonsisten terhadap aturan itu sendiri.

Inkonsistensi peraturan yang dimaksud Herizal salah satu bentuk nya adalah mengenai kewajiban pembuatan Surat Keterangan Domisili Usaha (SKDU) dalam proses perizinan. Mungkin terkesan remeh, tetapi SKDU menjadi dokumen dasar dalam mengurus perizinan. Robert mempertanyakan payung hukum kewajiban pengurusan SKDU. Ia menilai SKDU seharusnya dihapus karena berisiko menimbulkan pungutan liar di tingkat kelurahan.

“Pengurusan SKDU itu wajib, terkadang hal ini harus diperhatikan meski terkesan remeh. Tetapi, kewajiban pengurusan SKDU ini tidak ada payung hukumnya. Harusnya dihapuskan saja karena berpotensi pungli,” tambahnya.

Ombudsman Republik Indonesia sudah menyarankan pemerintah menghapus surat keterangan domisili usaha sebagai prasyarat pengurusan perizinan. Anggota Ombudsman Republik Indonesia (ORI) Dadan Suparjo Suharmijaya pernah mengatakan bahwa pihaknya telah menyelesaikan kajian tentang surat keterangan domisili usaha setelah menerima banyak laporan dari masyarakat terkait dengan biaya pembuatan SKDU yang tidak seragam dan tidak jelas peruntukannya.

Sejauh ini menurutnya pengurusan surat keterangan domisili usaha (SKDU) tidak memiliki payung hukum baik berupa peraturan walikota maupun bupati. Pasalnya, pembebanan biaya pengurusan surat ini tidak masuk dalam tariff retribusi maupun penerimaan negara yang diakui oleh Kementerian Keuangan sehingga pemerintah daerah enggan menyusun payung hukumnya.

Karena tidak memiliki payung hukum, besaran biaya pengurusan SKDU beragam antara satu daerah dengan daerah lainnya mulai dari Rp.500.000, hingga Rp1 juta. Hal inilah yang menurutnya membuka peluang terjadinya praktik pungutan liar.

Herizal menambahkan, pungli menjadi “wabah” dari segala persoalan di Indonesia termasuk investasi dan perizinan. Sayangnya, dari sekian banyak peraturan terkait investasi dan kemudahan perizinan yang dirilis oleh pemerintah, belum ada peraturan yang dapat menjamin bahwa proses perizinan bebas dari pungli. Jika hal ini tidak diselesaikan, kemudahan investasi dan perizinan tidak akan berjalan dengan baik.
Pemerintah telah memberlakukan perizinan melalui OSS RBA.
Tapi tidak serta-merta meninggalkan data teknis dan penyertaan dokumen dasar atau penyertaan pernyataan mandiri untuk di proses lebih lanjut berdasarkan tingkat risikonya, OSS-RBA dapat dikelompokkan menjadi empat di sesuaikan jenis usaha dan tingkat resikonya selain hal tersebut agar para pengusaha mendapatkan perizinan untuk berinvestasi dengan
mudah, cepat, transparan, dan kredibel serta dapat berlakunya secara efektif.
Khusus untuk usaha mikro dan kecil, semua perolehan izin usaha juga difasilitasi untuk mendapatkan izin tersebut, tapi sayang banyak dugaan pengusaha masih enggan mengurus dan melengkapi persyaratan tersebut.

Sebagai bentuk tanggung jawab AWPI ikut serta dalam mencerdaskan kehidupan bangsa maka kami juga memiliki tanggung jawab menyampaikan beberapa ulasan terkait regulasi dan hal-hal penting lainnya kepada masyarakat luas, ungkap Herizal.

Misalkan kita lihat Ketentuan Pasal 14 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah telah mereduksi pesan moral dan mengakibatkan inkonsistensi kaidah hukum secara vertikal
terhadap Pasal 33 ayat 3, Pasal 18, dan Pasal 18A Undang-Undang Dasar 1945 juga menganulir
kewenangan Pemda Tingkat II di bidang pertambangan berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun
2009 tentang Minerba meningkatkan konsekuensi kerusakan lingkungan dan berdampak pada terpinggirkannya perlindungan hukum bagi rakyat kecil yang karena keterbatasan melakukan usaha
pertambangan tanpa izin yang diancam sanksi pidana sesuai Pasal 158. Penegakan hukum pertambangan tanpa
izin di Kabupaten Lampung Timur lebih bersifat persuasif kompromis, belum berdampak secara signifikan
terhadap fungsi lingkungan karena berkurangnya tekanan penduduk. Perlu dilakukan pemberdayaan
hukum kepada mereka agar dapat menggeser mata pencahariannya ke sektor pariwisata & kuliner atau Minapolitan,atau pertanian.pungkas Herizal.(Dbs)

Kamu Bisa Download ini:

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button